Essay

Bagaimana Cara Beternak Perempuan dan Meraup Kesuksesan

Juni 15, 2017
Flm horor bukan sekadar membuat orang ketakutan pada sosok yang mengerikan. Lewat elemen seperti monster, makhluk astral, atau pembunuh serial, film horor hadir menjadi kemungkinan yang bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tak jarang, film horor dapat dihubungkan dengan elemen lain yang lebih realistis, seperti kritik sosial atau hubungan antar manusia.

Dalam ranah film pendek, film horor asal Inggris berjudul ‘The Herd’ ramai diperbincangkan hangat di tahun 2015. Karya Melanie Light ini menceritakan sebuah peternakan susu, dimana perempuan menggantikan posisi hewan berkaki empat. Dalam durasi 17 menit, penonton disuguhkan ide mengerikan tentang seorang perempuan yang dikumpulkan dengan satu tujuan: produksi susu. Produk ini pun kemudian diolah menjadi kosmetika untuk perempuan.

’The Herd' terkenal sebagai film horor feminis vegan pertama di dunia. Sebagai seorang feminis dan vegan, ide Light untuk mensubsitusi sapi dengan perempuan sudah liar sejak awal. ‘The Herd’ adalah visi tanpa kompromi, mempertanyakan sikap kita sebagai pemakan segala untuk melihat nasib hewan perah yang harus menerima perlakuan ini setiap harinya.

Dalam sebuah wawancara bersama ComingSoon, Light sejak awal menegaskan bahwa film ini bercerita tentang kondisi manusia dan cara kita memperlakukan hewan. Latar belakangnya sebagai feminis dan vegan lalu membuat banyak orang menghubung-hubungkan kedua ideologi tersebut.

“Menggunakan analogi hak hewan, saya mencoba menggambarkan perlakuan terhadap perempuan dalam masyarakat. Bagaimana rasanya ditekan karena terlahir sebagai perempuan, hidup di bawah tekanan agama dan jadi warga kelas dua. Tak ada bayaran yang setara dan hidup dalam ekspektasi yang mustahil. Perempuan tak ada harganya selain menjadi seorang ibu. Sebagai sesama manusia saja tak setara, bagaimana yang lain,” ungkapnya berapi-api.

Dalam sesi Ask Me Anything di Viddsee Community, saya berkesempatan untuk bertanya langsung kepada Melanie mengenai intensinya dalam mengkritisi kapitalisme dalam menggambarkan ilusi perempuan sukses secara finansial dan kekuasan di ending filmnya. Melanie menjawab bahwa ia sengaja menggambarkan karakter suster dan ilmuwan perempuan untuk menunjukkan fenomena bahwa perempuan bisa kejam pada sesamanya demi kekuasaan dan keserakahan. Penting baginya untuk memperlihatkan ini, karena di Inggris sendiri ada beberapa politisi perempuan yang melakukan hal yang sama. "Saya ingin ironi karena susu diproduksi secara massal demi keuntungan yang besar dengan mengorbankan nyawa makhluk lain. Saya percaya bahwa veganisme dan feminisme berjalan beriringan karena mereka berbicara tentang perbudakan dan perlakuan terhadap perempuan sebagai produk dan dimanfaatkan secara murni untuk organ reproduksi mereka," jelasnya.

Perempuan Sebagai "Pabrik Anak"


Ditilik dari segi sejarah, Benito Mussolini dan Hitler pernah membuat kebijakan untuk mengembalikan perempuan ke sumur, dapur, dan kasur. Dalam kasus Mussolini sendiri, ia pernah membuat kebijakan yang hanya menguntungkan bagi laki-laki (dan semakin melanggengkan budaya patriarki itu sendiri), sementara perempuan dianggap berharga ketika melahirkan keturunan. Anak-anak ini nantinya akan menjadi calon serdadu untuk satu misi yang jelas: membangkitkan imperium Italia.

Kebijakan yang sama pernah dilakukan oleh Orde Baru setelah tragedi 1965. Ada ketimpangan relasi kuasa yang mengubah struktur sosial lalu menjadikan perempuan sebagai komoditas dan simbol penaklukan negara. Seksualitas perempuan dipilih sebagai objek politik penundukan kaum perempuan, pun kemudian perempuan miskin diperjualbelikan dalam industri prostitusi, pabrik jilbab dan fashion muslimah.

Hal ini berkebalikan 180 derajat dengan pra-1965 dimana kaum perempuan aktif terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan riil di masyarakat secara kolektif. Potret emansipasi perempuan digambarkan melalui sebagai wanita karir yang sukses namun tidak melupakan tugas-tugas di rumah. Hal yang hanya bisa dicapai secara eksklusif bagi perempuan dari kalangan menengah ke atas, tapi tidak bagi kelompok di bawah itu.

Akhir dari film ‘The Herd’ menggambarkan adanya kelas sosial di antara perempuan itu sendiri. Yang miskin dieksploitasi untuk diperah susunya serta memproduksi anak-anak perempuan yang nantinya akan menjadi generasi hewan perah selanjutnya. Susu yang diproduksi akan diolah menjadi produk kecantikan yang digunakan oleh perempuan kaya dan ‘sukses’, terlahir dengan keistimewaan untuk tidak mengalami nasib yang sama dengan si miskin. Porsi laki-laki disini ditempatkan sebagai penjaga untuk memastikan roda produksi terus berputar dan jurang perbedaan antara yang beruntung atau tidak tetap menganga lebar.


Frasa ‘siapa suruh lahir jadi orang miskin’ nampaknya berlaku dimanapun. Baik itu di Inggris ataupun di Indonesia, tak ada bedanya.





: