Essay

Susahnya Jadi Gay di Indonesia, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Juni 18, 2017



Is it wrong to falling in love with your own kind?

Saya tak pernah punya masalah terhadap kaum LGBT. Bagi saya pribadi, tak ada yang salah untuk mencintai seseorang, apapun gendernya. Kebetulan saya masih menyukai lelaki, tapi beberapa orang yang saya kenal kebetulan mencintai sesama jenis. Walau gerakan #lovewins mendunia sejak AS melegalkan pernikahan sesama jenis pada 2015, nyatanya Indonesia masih jauh dari itu.

Sentimen anti LGBT di Indonesia semakin meningkat semenjak era pemerintahan Jokowi, begitu klaim Human Rights Watch. Tak mungkin mengharapkan keadilan ketika Menteri Pendidikan Tinggi - pernyataan ini akhirnya diklarifikasi - melarang kegiatan kelompok LGBT di kampus-kampus. Sulit untuk mengharap perlindungan ketika Kementerian Sosial mengemban tugas untuk mengembalikan laki-laki dan perempuan ke fungsi sosialnya.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa sutradara yang fokus membahas masalah LGBT. Misalnya Paul Agusta dengan “Parts of the Heart”, Lucky Kuswandi dan web-series “CONQ” yang sempat menuai kontroversi, serta Andri Cung lewat “The Sun, The Moon and The Hurricane”. Kini ada satu nama baru yang patut diperhitungkan, Fachri Al Jupri lewat film pendek berjudul ‘ABID’.

‘ABID’ berkisah mengenai Farhan, seorang pria gay muslim yang berjuang untuk berdamai dengan preferensi seksualnya. Dalam film berdurasi selama 20 menit ini, ia sadar betul bahwa menjadi gay adalah sesuatu yang salah di mata agama. Tak mampu menahan rasa bersalah, ia pun melakukan segala cara untuk menyembuhkan diri.

Dalam sebuah wawancara bersama Huffington Post, Fachri mengakui bahwa film ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadinya. “Rasanya menyenangkan untuk mendalami perjalanan seseorang secara visual. Walau di akhir terasa ambigu, saya ingin menunjukkan bahwa setelah ia kembali ke jalan yang benar pun, keinginannya akan sesama jenis masih ada, tak bisa dihilangkan," ungkapnya. Harapannya sederhana saja, ia ingin membuat film yang manusiawi dan relevan bagi banyak gay yang masih bergumul dengan preferensi seksualnya.

Ketika Negara Masuk ke Ranah Privat


Di akhir Mei 2017, khalayak dikejutkan dengan pengrebekan ‘pesta seks gay’ di sebuah pusat kebugaran di Jakarta Utara. Masih di bulan yang sama, pasangan gay dihukum cambuk di Aceh serta kepolisian Jawa Barat yang membentuk Satgas Khusus Anti LGBT. Sebuah kemunduran besar, mengingat gerakan advokasi LGBT di Indonesia sudah terjadi sejak 1960an sejak Ali Sadikin memfasilitasi asosiasi transgender di Jakarta. Dalam waktu kurang dari 18 bulan, kaum gay yang awalnya masih ditoleransi semakin dicap buruk.

“Gay di Indonesia kelelahan dan ketakutan. Bahkan, saya mengenal aktivis gay yang membuat organisasi pada era 80an mengatakan bahwa mereka tak pernah melihat kengerian ini,” ungkap Kyle Knight, seorang periset Human Rights Watch khusus program hak-hak LGBT saat diwawancara oleh CNN. Menurut Knight, hal ini didorong tak hanya oleh kemunafikan dan kesalahpahaman oleh banyak pejabat publik. “Orang jadi merasa adil untuk mengejar kaum LGBT di Indonesia.”

Saya bisa mengerti perasaan beberapa sahabat gay dan lesbian yang memutuskan untuk tetap discreet, terutama di kondisi seperti sekarang. Beberapa dari mereka bahkan memilih untuk menikah agar tetap terlihat ’normal’. Padahal, untuk bisa menerima bahwa mereka menyukai sesama jenis saja sulit. Sejak awal, mereka sudah tak bisa menerima fakta bahwa mereka “berbeda”. Upaya untuk kembali menjadi normal sudah dilakukan, tapi masalahnya tak semudah membalikkan telapak tangan.

 Upaya "Menyembuhkan" Penyimpangan Orientasi Seksual


Di paruh akhir ‘ABID’, Farhan melakukan masturbasi sembari melihat foto usus yang berdarah-darah. Metode ini dikenal sebagai ‘conversion theraphy’ (atau terapi konversi) yang merupakan perawatan psikologis atau konseling spiritual yang dirancang untuk mengubah orientasi seksual yang awalnya homoseksual atau biseksual menjadi heteroseksual. American Psychiatric Association menentang metode ini karena dinilai tidak etis. Menganggap homoseksualitas adalah kelainan mental berdasarkan pada asumsi apriori sudah tak adil sejak dari dalam pikiran.

Praktik terapi konversi di AS ditentang banyak pihak, termasuk pemerintah. Negara bagan California, Connecticut, Illinois, New Jersey, Oregon, Vermont, New Mexico, Nevada dan Kolumbia telah memberlakukan undang-undang untuk mencegah petugas kesehatan mental berlisensi menawarkan terapi konversi kepada anak di bawah umur. Tindakan ini lalu diikuti oleh 20 negara bagian lainnya. New York sendiri telah mengambil tindakan administratif untuk melindungi kaum muda LGBTQ dengan melarang asuransi untuk terapi ini dan menghukum penyedia jasanya.

Sayangnya, semenjak Trump dan Mike Pence berkuasa, terapi konversi ini dipromosikan di platform Partai Republik pada 2016. Sosok Pence dinilai sebagai pejabat publik anti LGBTQ di negara ini. Seorang penyintas terapi konversi mengungkapkan, “Kami tak lagi menjadi manusia di akhir program ini dan beberapa rekan memilih untuk mengakhiri hidup mereka.”

Semakin banyak negara yang mengecam terapi konversi sebagai cara penyembuhan LGBT, salah satunya Inggris, Australia, dan Malta.

Bagaimana di Indonesia Sendiri?


Di Indonesia, terapi konversi yang lazim dilakukan untuk ‘mengobati’ kaum LGBT adalah dengan rukiah serta hipnoterapi. Saya menemukan Abu Albani Centre di laman pencari, rehabilitas kelainan orientasi seksual di tempat ini diperkirakan memakan waktu antara 2-3 bulan dengan rawat inap untuk mempermudah pengawasan. Dari sumber yang berbeda, ada pula Rumah Konseling yang memberikan layanan gratis karena banyak orang yang merasa takut dan kesulitan untuk mencari jalan keluar. 

Pada 2016 silam, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa sedang mendalami metode ESQ sebagai solusi untuk "menyembuhkan" kaum LGBT agar kembali ke fungsi sosialnya semula. Bantahan datang dari Dede Oetomo selaku pendiri GaYa Nusantara sekaligus aktivis LGBT yang menyatakan bahwa metode ESQ ini tak sesuai. "Sains psikologi dan psikiatri sudah meneliti dan menyimpulkan bahwa orientasi seks dan identitas gender tak dapat diubah. Jadi usaha-usaha ini pengelabuan publik, bahkan membahayakan individu yang menjalaninya," ungkapnya dalam wawancara bersama Rappler. 

Senada dengan Dede Oetomo, saya pribadi melihat terapi konversi ini bukan jalan keluar masalah. Ada tindakan penindasan yang struktural secara masif baik dari negara maupun masyarakat yang memaksa masuk ke ranah privat seseorang dan memaksanya untuk berubah jadi ‘orang lain’. Masih banyak miskonsepsi antara perilaku seksual dan orientasi seksual.  Perilaku bisa diubah, tapi tidak dengan orientasi. Tak ada istilah sembuh, tapi konseling menjadi penting bagi mereka untuk berdamai dengan ‘kelainan’ ini.

Dalam akhir film 'ABID', setelah melakukan terapi konversi pun bahkan tak dapat mengembalikan Farhan sebagai pria straight. Semakin keras tekanan yang ia lakukan pada dirinya sendiri, semakin nelangsa dan hampa perasaannya. 


Susah memang jadi LGBT di Indonesia, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula! 

: