Essay

Jualan Produk Berbalut Agama Dijamin Menguntungkan!

Juli 10, 2017

Suatu hari, saya mengajak seorang teman untuk bertemu dan makan siang. Ada beberapa tempat yang saya rekomendasikan, tapi ia ngotot untuk makan di Waroeng Steak & Shake. Saya tanya kenapa lalu ia menjawab, “Soalnya itu restorannya Ustad Yusuf Mansur. Hasil keuntungannya untuk kemaslahatan umat.” Karena ini menarik, saya pun akhirnya setuju untuk makan di tempat yang ia rekomendasikan. Padahal, restoran ini bahkan bukan milik Ustad Yusuf Mansur, melainkan milik pasangan suami istri Jody Brontosuseno dan Siti Hariyani. Adanya benang merah pun dikarenakan Jody bekerjasama dengan Ustad Yusuf Mansur untuk mendirikan rumah tahfidz di penjuru Indonesia.

Sosok Ustad Yusuf Mansur sendiri menurut saya cukup kontroversial. Ramai diberitakan anjuran beliau untuk bersedekah dengan harapan Allah akan membalas dengan limpahan harta yang lebih banyak. Yang terbaru, sejumlah orang di Surabaya melaporkannya ke Polda Jawa Timur terkait investasi Condotel Moya Vidi di Yogyakarta yang dinilai bermasalah. Nyatanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pernah menghentikan investasi aset Ustad Yusuf Mansur pada 2013.

Semua orang punya hak untuk berbisnis. Kalau mau positive thinking, bisa saja ini bukan usaha milik beliau, tapi milik orang lain yang memakai namanya sebagai strategi pemasaran. Masalahnya, bisnis-bisnis ini juga tak ada hubungannya juga dengan agama Islam. Pun dengan sosok Ustad Yusuf Mansur sebagai tokoh sentral dalam bisnis tersebut. Posisinya sebagai tokoh agama membuat orang cenderung percaya bahwa ucapannya mengandung kebenaran tentang Islam. Ada konflik kepentingan yang terjadi, tak salah kalau ada pihak-pihak yang mengkritisinya telah "menjual” islam. 
Saya lalu jadi bertanya-tanya, apakah menjual sesuatu yang berbalut agama memang menguntungkan?

Faktanya, menurut studi Religious Freedom & Business Foundation di tahun 2016, sumbangan sosial ekonomi dari agama untuk masyarakat Amerika Serikat menyentuh angka sekitar $1.2 triliun dolar. Angka ini diperkirakan dating dari nilai lembaga keagamaan, termasuk fasilitas kesehatan, sekolah, tempat penitipan anak, badan amal, media, program sosial dan filantropi, pasar makanan halal, kongregasi, serta bisnis ‘iman’.  Nilai ini melebihi pendapatan tahunan dari 10 perusahaan teknologi global, termasuk Apple, Amazon, dan Google.

Brian J. Grim, Presiden The Religious Freedom & Business Foundation mengungkapkan bahwa lebih dari 344.000 kongregasi di seluruh AS memperkerjakan ratusan ribu staf secara kolektif dan membeli barang dan jasa bernilai milyaran dolar. Ada istilah God Incorporation di AS yang Serikat mengacu pada kegiatan penginjilan Kristen dengan organisasi yang dianggap serupa dengan perusahaan komersial lainnya. Tak hanya menggelar kebaktian agama dan mengandalkan pemasukan dari sumbangan sukarela jemaatnya, keuntungan didapatkan dari penjualan buku, CD, kaus, dan produk-produk lainnya. Tak sedikit dari lembaga penginjilan yang memiliki aset jutaan dolar.

Secara historis, pungutan yang yang dilakukan oleh lembaga maupun pemimpin yang mengatasnamakan agama telah menjadi tradisi dalam misi sebuah agama. Masalahnya, batas 'komersialisasi’ agama kini semakin kabur dan buram. Seburam kaca mobil dalam salah satu adegan di film Titanic.

Saya langsung teringat dengan sebuah animasi pendek di tahun 2008 asal Prancis, ‘Memes les pigeons vont au paradis’ (Even Pigeons go to heaven). Film yang disutradarai Samuel Tourneux ini dinominasikan di Academy Award untuk kategori film animasi pendek terbaik. Premisnya sederhana saja, seorang pendeta sedang berusaha meyakinkan kakek untuk membeli mesin yang diklaim bisa mengantarkannya langsung ke surga. Dengan daftar dosa yang menggunung, kakek tak mungkin bisa ke surga tanpa membeli mesinnya. Interaksi kedua pria ini sungguh jenaka, tapi saya tak bisa menampik cara pendeta meyakinkan si kakek dengan pendekatan persuasif yang menimbulkan ketakutan.

Pentingnya agama bagi bisnis

Brian J. Grim mengemukakan empat faktor kunci untuk menjawab pentingnya agama dalam bisnis. Pertama, lembaga agama merupakan produsen dalam bisnis. Kedua, lembaga agama merupakan pasar bagi produsen yang besaran porsinya berbanding lurus dengan waktu. Proyeksi OECD meramalkan Indonesia akan menjadi negara peringkat kelima dalam kekuatan ekonomi. Ketiga, agama menjadi tantangan dalam berbisnis. Contoh terbaru adalah penarikan produk ramen instan yang dicurigai mengandung babi. Terakhir, negara yang memiliki indeks kebebasan beragama yang tinggi berkolerasi positif terhadap tinggi tingkat inovatif negara tersebut.

Sebaliknya, bisnis sama pentingnya bagi agama. Brian mengungkapkan data mengenai kondisi Irak sebelum ISIS berkecamuk. 74% rakyat Irak mencemaskan pengangguran, disusul dengan masalah kejahatan, korupsi, setelahnya baru konflik keagamaan.

Sebagai “properti", agama memang sangat menjanjikan untuk diperjualbelikan. Beberapa produk kini mengedepankan positioning yang berlabelkan agama dalam memasarkan produknya, yang tentu terasa wajar di Indonesia dengan pemeluk agama Islam secara mayoritas. Dalam sambutannya di International Halal Lifestyle Expo and Conference 2016, Ketua Umum MUI Dr. KH Ma’ruf Amin mengatakan bahwa bagi umat Islam, halal adalah bagian dari gaya hidup yang wajib dijalankan. Halal ini tak hanya menyangkut pangan, tapi juga kosmetik dan obat-obatan. Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2014, Jaminan Produk Halal juga termasuk barang gunaan yang harus terdeteksi halal dalam produk maupun proses pembuatannya.

Tapi sampai sejauh apa strategi pemasaran ini bisa disebut wajar? Kita tentu masih ingat sebuah iklan sampo khusus hijab yang bintang iklannya tetap mengenakan jilbab. Atau merk kerudung, detergen serta makanan kucing pertama yang diklaim halal. Tidakkah strategi ini mengembuskan ketakutan kepada masyarakat bahwa makanan untuk kucing kesayangan atau jilbab yang dikenakan bisa jadi tidak halal? 

Komersialisasi Label Halal

Berbicara mengenai bisnis agama, umat beragama memang jadi sasaran utamanya. Sumanto al Qurtuby dalam artikelnya di dw.com berpendapat bahwa pangsa pasar ini sangat menggairahkan dan bisa dimanfaatkan (atau dimanipulasi) dengan baik oleh kaum “kapitalis agama”. Kaum kapitalis agama ini bisa siapa saja - klerik, pendakwah, politisi, birokrat, akademis, artis, jurnalis, pebisnis, penulis, dan lain sebagainya. Apapun profesinya, kaum ini menjadikan atau memanfaatkan agama sebagaimana layaknya barang dagangan untuk meraup keuntungan ekonomi-politik dan material-duniawi.

Pihak-pihak yang mengedepankan sertifikat halal sebagai strategi promosinya bisa saja berkilah bahwa hal ini dilakukan sebagai upaya perlindungan konsumen. Kenapa 'ketakutan' jadi motor penggerak orang dalam sebuah keputusan pembelian adalah pertanyaan yang menarik. Kontan saya teringat dengan istilah The Reptilian Brain lewat obrolan bersama kolega di kantor setahun lalu. Istilah ‘reptil’ mengacu pada fungsi otak primitif dan naluriah yang dimiliki oleh semua reptil dan mamalia, termasuk manusia. Ini merupakan fungsi otak yang paling kuat dan paling tua. The Reptilian Brain ini berbasis pada emosi manusia yang tanpa sadar akan merespon pada insting bertahan hidup, agresi, kemarahan, ketakutan, atau klaim teritorial pada apa-apa saja yang mereka lihat dalam keseharian.

Dengan semakin meningkatnya jumlah pemeluk agama Islam di dunia, kebutuhan akan halal atau tidaknya produk yang digunakan menjadi prioritas. Bukan hanya pada makanan yang harus jelas halal atau tidaknya, tapi juga barang yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah penelitian pada tahun 2010 mengungkapkan ada 1.3 milyar hingga 1.8 milyar konsumen (muslim maupun non-muslim) yang memiliki nilai pasar atau perdagangan sebesar 634 juta dolar per tahun. Belum lagi ditambah dengan laju perkembangan pemeluk Islam yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Joe Regenstein, seorang pakar asal Cornell University (dalam Waarden & Dalen, 2010:13) mengatakan bahwa produk halal merupakan ‘tambang emas yang belum tersingkap’. Ini artinya, pangsa pasar barang-barang berlabel halal semakin besar.


Sayangnya, tak ada jaminan mengenai produk yang telah mendapat sertifikat halal ternyata layak untuk digunakan. Saya ingat dengan Ajinomoto, produk penyedap rasa asal Jepang yang pernah dikejutkan dengan kasus haram, padahal produk ini telah memiliki label halal selama bertahun-tahun. Republika Online di tahun 2009 pernah melaporkan 69 jenis produk pangan olahan yang mencantumkan label halal palsu di kemasannya. Ibaratnya, halal di kemasan, tapi belum tentu halal untuk dimakan.

Ada yang tak beres dengan produk-produk yang mengedepankan sertifikasi halal sebagai strategi promosi mereka. Premis rancu yang muncul kemudian bahwa produk sejenis yang tak bersertifikasi diragukan kehalalannya. Dengan isu sertifikasi halal yang terus menuai pro dan kontra, labelisasi halal pada produk tak ditujukan untuk melindungi konsumen muslim, melainkan mendulang profit sebanyak-banyaknya dengan menggunakan ketakutan sebagai alasannya.

Sebagai umat beragama, sejak kecil kita sudah dijejali dengan konsep surga dan neraka. Apapun agamanya, tentu kita tak ingin masuk ke jurang neraka.



: